BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam berada di tangan para sahabat Nabi yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin. Setelah Khulafaur Rasyidin terakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H /660 M, kekhalifahan sempat dijabat oleh Hasan bin Ali, namun karena Hasan bin Ali dinilai lemah sedangkan kekuatan Muawiyah semakin kuat, maka Hasan bin Ali membuat perjanjian dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Dari sinilah sistem pemerintahan baru dimulai, yakni sistem Dinasti atau Bani.
Perbedaan yang mendasar antara Khulafaur Rasyidin dengan dinasti atau kekhalifahan setelahnya adalah terletak pada proses bagaimana ia diangkat sebagai khalifah dan pada perilakunya. Seorang khalifah di zaman Khulafaur Rasyidin tidak pernah bertindak sendiri saja waktu negara mereka menghadapi suatu kesulitan, tetapi kesulitan itu dimusyawarahkannya dengan para cerdik pandai dan alim ulama, sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya. Tetapi setelah periode al Khulafaur Rasyidin berakhir, timbullah berbagai macam kese-wenang-wenangan dan kediktatoran, seakan di tangan khalifah-khalifah itulah segala sesuatu.
Dinasti yang pertama kali memerintah setelah berakhirnya Khulafaur Rasyidin adalah Dinasti (Bani) Umaiyah dan kemudian dilanjutkan oleh Bani Abbas.
Pada saat Bani Abbas (Abbasiyah) berkuasa perkembangan Islam dan ilmu pengetahuan begitu pesat bahkan pada masa inilah peradaban Islam mencapai puncak keemasannya, jika dibandingkan dengan pemerintahan Bani Umaiyah bahkan dengan masa-masa berikutnya. Pada masa Bani Abbas ini banyak lahir ilmuwan muslim dari berbagai disiplin ilmu. Bagaimanakah sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Bani Abbasiyah sehingga mampu membawa peradaban Islam pada level yang tinggi?. Namun ketika Bani Abbasiyah mengalami keruntuhan, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam turut mengalami kemunduran. Inilah yang menjadi acuan mengapa penulis tertarik untuk membahas hal ini.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Bani Abbasiyah?
2. Bagaimanakah sejarah pemikiran dan peradaban Islam pada masa Bani Abbas di Bagdad ?
3. Faktor apa sajakah yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah?
C. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam kajian ini adalah pendekatan histories diharapkan dengan pendekatan ini akan ditemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dalam bingkai kesejarahan.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini adalah library research (studi pustaka), yakni data dikumpulkan dengan cara mencari dan mengelompokkan buku-buku/ naskah yang relevan dengan apa yang menjadi fokus penelitian, lalu ditafsirkan dan dianalisis.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari lima bab, yakni: Bab I Pendahuluan, yang meliputi: A.Latar Belakang masalah, B. Perumusan Masalah, C. Pendekatan, D. Metode Penelitian, dan E. Sistematika Penulisan. Bab II membahas Sejarah Berdirinya Bani Abbas, Bab III membahas Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam pada masa Bani Abbas di Bagdad, sedangkan Bab IV membahas Faktor-faktor yang Menyebabkan Runtuhnya Dinasti Abbasiyah, dan Bab V berisi Kesimpulan dan Penutup.
***
BAB II
SEJARAH BERDIRINYA KHALIFAH ABBASIYAH
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Ummayah kepada Daulah Abbasiyah bermula ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka karena mereka adalah keluarga Nabi SAW yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi baru menjelma menjadi gerakan ketika Bani Ummayah naik takhta dengan mengalahkan Ali bin Abi Talib dan bersikap keras terhadap Bani Hasyim.
Dinasti ini dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, yakni al-Abbas ibn Abdul al-Muthalib ibn Hasyim. Diantara pendiri itu adalah Abu Abbas Assafah. Abu Abbas Assafah adalah founding father sekaligus khalifah pertama bani Abbasiyah. Nama lengkapnya adalah Abdullah Assafah ibn Muhammad ibn Ali Ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Orang Abbasiyah –sebut Abbasiah—merasa lebih berhak dari pada Bani Umaiyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umaiyah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Ummaiyah.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz (717-720) menjadi khalifah Daulah Ummayah. Umar memimpin dengan adil. Ketenteraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di al-Humaymah. Pemimpin waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, seorang zahid. Dia kemudian diganti oleh anaknya, Muhammad, yang memperluas gerakan. Dia menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan, yaitu al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad wafat pada tahun 125 H/743 M dan digantikan oleh anaknya, Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya dipilih seorang kuat asal Khurasan bernama Abu Muslim al-Khurasani. Abu Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi kemenangan. Pada awal tahun 132 H/749 M Ibrahim al-Imam tertangkap oleh pemerintah Daulah Ummayah dan dipenjarakan sampai meninggal. Dia digantikan oleh saudaranya, Abu Abbas. Tidak lama setelah itu dua bala tentara, Abbasiyah dan Ummayah, bertempur di dekat sungai Zab bagian hulu. Dalam pertempuran itu Bani Abbas mendapat kemenangan, dan bala tentaranya terus menuju ke negeri Syam (Suriah); di sini kota demi kota dapat dikuasainya.
Sejak tahun 132 H/750 M itulah Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Saffah. Daulat ini berlangsung sampai tahun 656 H/1258 M. Masa yang panjang itu dilaluinya dengan pola pemerintahan yang berubah-ubah sesuai perubahan politik, sosial, budaya, dan penguasa.
Berikut para Khalifah Bani Abbas yang berkuasa sejak 750-1258 M.
1. Abu Abbas Assafah 750-754M/ 132-137H
2. Abu Ja’far Almansur 754-775M/ 137-159H
3. al-Mahdi 775-785M/ 159-169H
4. al-Hadi 785-786M/ 169-170H
5. Harun Arrasyid 786-809M/ 170-194H
6. al-Amin 809-813M/ 194-198H
7. al-Makmun 813-833M/ 198-218H
8. al-Mu’tasim 833-842M/ 218-227H
9. al-Wasiq 842-847M/ 227-232H
10. al-Mutawakil 847-861M/ 232-247H
11. al-Muntasir 861-862M/ 247-248H
12. al-Mustain 862-866M/ 248-252H
13. al-Mu’taz 866-869M/ 252-256H
14. al-Muhtadi 869-870M/ 256-257H
15. al-Mu’tamid 870-892M/ 257-279H
16. al-Mu’tadid 892-902M/ 279-290H
17. al-Muktafi 902-908M/ 290-296H
18. al-Muqtadir 908-932M/ 296-320H
19. al-Qahir 932-934M/ 320-323H
20. ar-Radi 934-940M/ 323-329H
21. al-Muttaqi 940-944M/ 329-333H
22. al-Muktafi 944-946M/ 333-335H
23. al-Muti 946-974M/ 335-364H
24. at-Ta’i 974-991M/ 364-381H
25. al-Qadir 991-1031M/ 381-423H
26. al-Qaim 1031-1075M/ 423-468H
27. AL-Muqtadi 1075-1094M/ 468-487H
28. AL-Mustazhir 1094-1118M/ 487-512H
29. al-Murtasyid 1118-1135M/ 512-530H
30. ar-Rasyid 1135-1136M/ 530-531H
31. al-Muqtafi 1136-1160M/ 531-555H
32. al-Mustanjid 1160-1170M/ 555-566H
33. al-Mustadi 1170-1180M/ 566-576H
34. an-Nasir 1180-1225M/ 576-622H
35. az-Zahir 1225-1226M/ 622-623H
36. al-Mustansir 1226-1242M/ 623-640H
37. al-Musta’sim 1242-1258M .
***
BAB III
SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI ABBAS DI BAGDAD
A. Periodesasi Bani Abbas
Menurut W. Montgomery Watt, sebagaimana dikutip oleh Badri Yatim, bahwa kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode.
1. Periode Pertama ( 132 H/ 750 M – 232 H/ 847M), disebut pengaruh Persia pertama.
Walaupun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini, pemerintahannya hanya singkat (750-754). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja'far al-Mansur. Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Ummyyah, Khawarij, dan juga Syiah yang mulai merasa dikucilkan dari kekuasaan.
Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Abu Ja'far al-Mansur kemudian memindahkan ibu kota dari al-Hasyimiyah, dekat Kufah, ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, pada tahun 767. Di sana ia menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk dalam lembaga eksekutif dan yudikatif.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-safah dan Abu Ja'far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, mulai dari Khalifah al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah al-Wasiq (842-847). Puncak popularitas daulat ini berada pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809) dan puteranya al-Ma'mun (813-833). Daulat ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah yang memang sudah luas.
Pada al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan barat dipergiat. Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang sarananya lengkap.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun ar-Rasyid. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat tak tertandingi.
Pada masa Harun ar-Rasyid, kekayaan negara yang banyak sebagian besar dipergunakannya untuk mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedokteran dan farmasi. Sementara pada masa al-Makmun, ia gunakan untuk menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan kristen , sabi, dan bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa arab, serta mendirikan Bait al Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan akademik yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di dalamnya diajarkan berbagai cabang ilmu, seperti kedokteran, matematika, geografi, dan filsafat. Disamping itu masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk mempelajari berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai halaqat di dalamnya. Pada masanya, kota Bagdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu semakin cepat setelah khalifah mendirikan lembaga yang sesuai, yaitu perpustakaan-perpustakaan, yang terbesar diantaranya adalah Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Makmun. Perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas di mana terdapat kitab-kitab secara lengkap.
2. Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M), disebut pengaruh Turki petama.
Pilihan Khalifah al-Mu'tasim (833-842) terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Makmun dan sebelumnya. Al-Mu'tasim (833-842) dan Khalifah sesudahnya al-Wasiq (842-847), mampu mengendalikan mereka. Akan tetapi, Khalifah al-Mutawakil (847-861) yang merupakan dari awal periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah al-Mutawakil wafat. Merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah sesuai dengan kehendak mereka. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas meskipun mereka tetap berada pada jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi usaha itu selalu gagal. Pada tahun 892 Bagdad kembali menjadi ibu kota. Kehidupan intelektual terus berkembang.
Setelah orang-orang Turki mulai melemah karena persaingan di antara mereka sendiri, Khalifah ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Ra'iq, gubernur Wasith dan Basra. Khalifah memberinya gelar Amirul Umara (panglima dari para panglima). Namun demikian keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik. Dari dua belas khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari takhta dengan paksa.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/ 1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga dengan masa pengaruh Persia kedua.
Pada masa inilah munculnya pemikir-pemikir besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan kanal masjid dan rumah sakit.
4. Periode Keempat (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan pengaruh Turki kedua.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikam Madrasah Nizamiyah (1067) dan Madrasah Hanafiyah di Bagdad. Cabag-cabang Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khirasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Dari Madrasah ini telah lahir banyak cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu.
5. Periode Kelima ( 590 H/1194 M – 656 H/ 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurluluhkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H/1258 M.
B. Kemajuan yang Dicapai oleh Bani Abbas
1. Faktor Politik.
a). Pindahnya ibu kota dari Syam ke Bagdad. Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa dengan alasan stabilitas, Abu Ja'far al-Mansur kemudian memindahkan ibu kota dari al-Hasyimiyah ke Baghdad, bahkan ia menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk dalam lembaga eksekutif dan yudikatif.
b). Banyaknya cendikiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana. Khalifah-khlaifah Abbasiyah, misalnya al- Mansur, banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendikiawan-cendikiawan Persia.
c). Diakuinya Muktazilah sebagai madzhab resmi negara pada masa khalifah al-Ma'mun pada Tahun 827 M. Muktazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir kepada manusia. Aliran ini berkembang dalam masyarakat terutama pada masa Dinati Abbasiyah I.
2. Aktivitas Ilmiah
a). Penyusunan buku-buku ilmiah
Penyusunan buku-buku ini berlangsung pada masa dinasti Abbasiyah I (132-232 H). Pada masa sebelumnya, ulama-ulama mentransfer ilu mereka hanya melalui hafalan atau lembaran-lembaran yang tidak teratur. Pada tahun 143 H, barulah mereka menyusun hadis, fikih, tafsir, dan banyak buku dari berbagai bahasa yang meliputi segala bidang ilmu yang telah berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam bentuk buku yang tersusun secara sistematis.
b). Penerjemahan
Penerjemahan merupakan aktivitas yang paling besar peranannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan yang berasal dari buku-buku bahasa asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani atau Yunani ke dalam bahasa Arab. Perhatian pemerintah dalam bidang penerjemahan cukup serius, dimana Khalifah mengumpulkan sebanyak-banyaknya orang kristen yang sedia berjalan keliling benua atas biaya pemerintah. Tugas mereka hanyalah mengumpulkan buku Yunani sebanyak-banyaknya kemudian dibawa ke Baghdad untuk disalin.
c). Pensyarahan
Menjelang abad ke 10 M, kegiatan kaum muslimin bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan) dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal Bahkan dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri.
d). Kemajuan ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
Ilmu pengetahuan agama telah berkembang sejak masa Dinasti Ummaiyah, namun pasa masa dinasti Abbasiyah, ia mengalami perkembangan dan kemajuan yang luar biasa. Masa ini melahirkan ulama-ulama besar dan karya-karya agung dalam berbagai bidang ilmu agama. Misalnya bidang ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, dan ilmu fiqih, dan ilmu umum seperti, filsafat, kedokteran, astronomi, ilmu pasti/ matematika, dan geografi.
Diantara para ulama dan ilmuwan antara lain adalah: al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), al-Biruni (973-1048), Ibnu Maskawaih (930-1030), az-Zamaksyari, penulis dalam bidang tafsir dan 'Usul ad-Din (teologi), al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Gazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
***
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN
RUNTUHNYA BANI ABBAS
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah:
1. Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki.
Pertentangan Arab-non-Arab, perselisihan antara muslim dengan non-muslim, dan perpecahan dikalangan umat Islam sendiri telah membawa kepada situasi kehancuran dalam pemerintahan.
Pada masa al-Mansur, dari keluarga mereka ada yang diangkat menjadi wazir yang membawahi kepala-kepala departemen, seperti Khalid bin Barmak. Bahkan al-Mansur pun mengangkat tentara Persi sebagai pengawalnya. Meskipun demikian, orang-orang Persi tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Pesi pula. Hal ini tampak ketika terjadi perang antara a-Amin dengan a-Makmun. Peperangan ini sebenarnya buka perang saudara semata, melainkan secara tidak langsung merupakan perang antar dua suku, Arab dan Persi. al-Amin adalah anak Harun al-Rasyid dari isterinya Zubaidah, keturunan Arab. Sedangkan al-Makmun putera Harun al-Rasyid dari isterinya Marajil, keturunan persi.
2. Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah.
Tampilnya gerakan-gerakan pembangkang yang berkedok keagamaan, seperti orang Qaramithah, Asasin, dan pihak-pihak lain turut memporak-porandakan kesatuan akidah maupun nilai-nilai Islam yang bersih di sepanjang masa. Saat itu kaum muslim terbelah menjadi banyak kelompok seperti Khawarij, Syi'ah, --Itsna "Asyariyah, Isma'iliah, Assasin, Qaramithah—Sunni, Mu'tazilah, dan sebagainya. Mereka satu sama lain tidak akui terutama di kalangan elit politik menyebabkan sendi kekuatan Abbasiyah menjadi makin hari makin lemah sampai kehancuran Baghdad.
3. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pusat di Bagdad.
Munculnya dinasti-dinasti kecil yang benar-benar menikmati independensi dari kekhalifahan pusat Abbasiyah, seperti Dinasti Ibn Thulun dan Ikhsid di Mesir. Bani Thahir di Khurasan, Bani Saman di Persia dan di ma wara al-nahar ( seberang Sungai Oxus), orang Ghaznawi di Afganistán, Punjab dan India, bahkan Bani Buwaihiah -- penganut Syi'ah Itsna "Asyariyah -- berhasil menduduki kekhalifahan di Shiraj, Persia. Setelah Buwaihiah tumbang digantikan oleh saljuq yang Sunni. Hal ini terjadi karena lemahnya kekhalifahan pusat.
4. Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
Beban pajak yang berlebihan dan pengaturan wilayah-wilayah (provinsi) demi keuntungan kelas penguasa telah menghancurkan bidang pertanian dan industri. Saat para wali, amir, dan lain-lain termasuk kalangan istana makin kaya, rakyat justru makin lemah dan miskin.
Sedangkan faktor ekstern antara lain:
1. Perang salib.
Sebelum datang Hulagu, di bagian barat wilayah Dinasti Abbasiyah telah terjadi perang salib. Selama terjadi perang tersebut, di Baghdad sedang terjadi keresahan. Sejak 632 M, ada ketegangan antar Kristen dan Islam untuk menguasai Syam, Asia Kecil, Spanyol, dan lain-lain. Arus ekspansi Islam yang makin tidak terbendung membuat mereka gelisah dan ketakutan, jangan-jangan Islam menguasai mereka. Akhirnya, terjadi Perang Salib membuat dunia Islam menjadi lemah.
2. Hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, dan yang terakhir inilah yang secara langsung menyebabkan hancurnya Daulah Abbasiyah dan menguasai kota Bagdad.
Bagdad yang terkenal sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Islam, pada tahun 1258 mendapat serbuan Mongol. Tentara Mongol menyembelih seluruh penduduk dan menyapu Baghdad bersih dari permukaan bumi. Dihancurkanlah segala macam peradaban dan pusaka yang dibuat beratus-ratus tahun lamanya. Diangkut kitab-kitab yang telah dikarang oleh ahli ilmu pengetahuan bertahun-tahun lalu dihanyutkan ke dalam sungai Daljah sehingga berubah warna airnya lantaran tinta yang larut. Khalifah sendiri beserta keluarganya ikut dimusnahkan sehingga putuslah bani Abbas dan hancurlah kerajaan yang telah bertahta dengan kebesarannya selama 500 tahun itu.
Dengan tragedi yang terjadi ini maka hancurlah kejayaan Islam sebagai simbol kemajuan di berbagai bidang dan berselang beberapa lama muncullah kerajaan-kerajaan Islam yang terkenal dengan tiga kerajaan besar yang kemudian dapat diartikan sebagai kebangkitan Islam, meski tidak seperti pada masa Abbasiyah.
***
BAB V
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Ummaiyah yang telah berkuasa sebelumnya. Dinasti ini dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, yakni al-Abbas ibn Abdul al-Muthalib ibn Hasyim.
Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umaiyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz (717-720) menjadi khalifah Daulah Ummayah. Umar memimpin dengan adil. Ketenteraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di al-Humaymah.
2. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam pada Masa Bani Abbas di Bagdad..
Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa berkuasa, yakni 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M), Masa pemerintahan Bani Abbas dapat dibagi kedalam menjadi lima periode, yaitu:
a). Periode Pertama ( 132 H/ 750 M – 232 H/ 847M), disebut pengaruh Persia pertama.
Puncak popularitas daulat ini berada pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809) dan puteranya al-Ma'mun (813-833). Daulat ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya daripada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Pada masa inilah Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat tak tertandingi
b). Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M), disebut pengaruh Turki petama;
c). Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/ 1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga dengan masa pengaruh Persia kedua.
Pada masa inilah munculnya pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), al-Biruni (973-1048), Ibnu Maskawaih (930-1030) dan kelompok studi Ikhwan as-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan kanal masjid dan rumah sakit.
d). Periode Keempat (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan pengaruh Turki kedua.
Di antara para cendikiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada masa periode ini adalah az-Zamaksyari, penulis dalam bidang tafsir dan 'Usul ad-Din (teologi), al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Gazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
e). Periode Kelima ( 590 H/1194 M – 656 H/ 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
3. Faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah bahkan runtuh dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah:
a) Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki,
b) Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah,
c) Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pusat di Bagdad, dan
d) Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
Sedangkan faktor ekstern antara lain:
a) Perang salib, dan
b) Serangan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Setelah bani Abbas secara defacto mengalami kemunduran dan kehancuran, namun ilmu pengetahun tidak hancur sama sekali bersama dengan hancurnya buku-buku dan perpustakaan, karena ilmu pengetahuan telah banyak berpindah ke tangan orang-orang barat, yang telah banyak menyalin ke dalam bahasa mereka. Dengan demikian secara tidak langsung orang-orang barat mengakui peradaban dan kemajuan Islam dan kemudian mereka mencuri pengetahuan dan peradaban dari dunia Islam.
B. Penutup
Sejarah pemikiran dan peradaban Islam merupakan suatu realita sejarah yang tidak dapat diinterpensi dan dimanipulasi, betapun meyakitkan bagi generasi berikutnya. Demikian pembahasan sejarah pemikiran dan peradaban Islam pada masa Bani Abbas di Bagdad telah penulis selesaikan dan telah sesuai dengan motode karya ilmiah dan telah dipresentasikan dihadapat 16 peserta, semoga dapat dijadikan tambahan wawasan dan pelajaran bagi pembaca sekalian. Terima kasih.
***
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Hafizh, Dkk, ENSIKLOPEDI ISLAM,(Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999)
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007)
Munthoha Dkk, Pemikiran dan peradaban Islam, (Jakarta, UII Press, 2008)
Philip K. Hitti, History Of The Arabs: Edisi Terjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, ( Jakarta, Serambi, 2002)
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007)
Sya’labi, A.,Sejarah & Kebudayaan Islam 1, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003, cet. vi)
Yatim, Badri, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar