BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan sebuah bangsa, bahkan maju mundurnya sebuah bangsa dapat dilihat dari bagaimana pendidikan berlangsung di sana. Tak pelak Indonesia yang dari waktu ke waktu senantiasa berupaya memperbaiki sistem pendidikannya dengan berbagai konsep kurikulum, seperti yang terakhir ini adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan sekarang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan konsep kurikulum mutakhir bagi dunia pendidikan Indonesia. KTSP lebih berbasis kontekstual dan lokalitas di mana sebuah satuan pendidikan berada dengan ciri utama otonomi sekolah dan otonomi guru.
Dengan KTSP pendidikan diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan peserta didik di mana ia berada dan guru dapat secara penuh menyusun perangkat pengajaran sesuai kebutuhan eserta didiknya itu dengan memperhatikan asas-asas yang dirumuskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dengan demikian, guru dan warga sekolah dituntut untuk memahami secara benar apa dan bagaimana KTSP itu disusun. Maka banyak dilakukan sosialisasi-sosialisasi KTSP, seminar, MGMP, Workshop dan lain sebagainya guna menunjang pemahaman mendalam bagi yang berkompeten tersebut.
Dalam penulisan ini dimaksudkan membahas beberapa hal yang berkaiatan dengan pengembangan KTSP, yakni pada dokumen I (satu) dan dokumen II (dua).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dibuat rumusan maslah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengembangan dokumen I KTSP?
2. Bagaimana pengembangan dokumen II KTSP?
***
BAB II
DOKUMEN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
(KTSP)
A. Pengembangan Dokumen I KTSP
Dokumen I (pertama) disusun oleh tim handal yang dibentuk oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tersebut adalah:
1. Kepala sekolah,
2. Guru,
3. Tenaga administrasi,
4. Pengawas sekolah, dan
5. Komite sekolah dan orangtua siswa, serta
6. Dinas pendidikan.
Dokumen I KTSP terdiri atas 4 bab, meliputi:
Bab I Pendahuluan:
A. Latar Belakang
Dalam latar belakang ini dikemukakan alasan-alasan perlu disusunnya KTSP untuk sekolah. Pada latar belakang ini dirumuskan dua alasan, yakni alasan rasional dan dasar hukum penyusunan KTSP.
B. Tujuan
Tujuan pengembangan KTSP perlu dirumuskan untuk menjawab apa kegunaan dan fungsi KTSP untuk setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan khususnya untuk guru.
C. Prinsip-prinsip Pengembangan KTSP
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
6. Belajar sepanjang hayat
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Bab II Tujuan Pendidikan:
A. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
B. Visi sekolah
Sebuah visi adalah sasaran akhir yang terukur dan realistis sesuai dengan potensi sekolah yang bersangkutan. Visi bukanlah berisi angan-angan yang abstrak sehingga sulit dicapai, akan tetapi merupakan sasaran yang dirumuskan oleh berbagai komponen sekolah yang dapat dijangkau, sehingga kurikulum dikembangkan untuk mencapai sasaran yang dirumuskan.
C. Misi sekolah
Misi sekolah berkenaan dengan pertanyaan "upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencapai visi sekolah. Dengan demikian, suatu misi harus dapat menggambarkan kondisi dan suasana yang dibangun dalam mencapai suatu visi.
Bab III Struktur dan Muatan Kurikulum:
A. Mata pelajaran
Mata pelajaran muatan nasional, alokasi jam pelajaran, dan pengelompokan mata pelajaran serta aturan pengelolaan jam pelajaran mengacu pada Bab II Standar Isi.
B. Muatan lokal
Muatan Lokal merupakan mata pelajaran yang dikembangkan untuk mengakomodasi kepentingan daerah atau satuan pendidikan. Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang akan dicapai dilakukan oleh satuan pendididkan dan/atau Dinas Pendidikan yang terkait.
C. Kegiatan pengembangan diri
Kegiatan pengembangan diri merupakan kegiatan yang mewadahi bakat dan minat peserta didik. Tujuan kegiatan pengembangan diri adalah mengembangkan potensi peserta didik, terutama pada perubahan perilaku sesuai dengan target yang dicanangkan oleh satuan pendidikan.
D. Pengaturan beban belajar
Pengaturan beban belajar mengacu pada bab III Standar Isi. Beban belajar dalam bentuk tatap muka dirancang bersama oleh satuan pendidikan. Rancangan beban belajar dalam bentuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dirancang oleh guru mata pelajaran.
E. Ketuntasan belajar
Ketuntasan belajar adalah target minimal yang akan dicapai oleh satuan pendidikan. Kriteria Ketuntasan minimal (KKM) merupakan hasil analisis atas kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa terhadap kompetensi dasar, standar kompetensi, dan mata pelajaran yang dibelajarkan. Agar hasil belajar peserta didik dapat mencapai, bahkan melebihi KKM, satuan pendidikan merancang program remedial dan pengayaan.
F. Kenaikan kelas dan kelulusan
Kriteria kenaikan kelas dan kelulusan dikembangkan oleh satuan pendidikan. Acuan minimal kriteria kenaikan kelas adalah Peraturan Dirjen tentang Laporan Hasil Belajar dan POS UN tahun sebelumnya.
G. Penjurusan
Berisi kriteria dan mekanisme penjurusan serta strategi/ kegiatan penelusuran bakat, minat dan prestasi yang diperlakukan oleh sekolah, yang disusun mengacu pada: Panduan penjurusan yang akan disusun oleh Direktorat terkait.
H. Pendidikan kecakapan hidup
Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan kecakapan yang diperlukan agar seseorang mampu dan berani menghadapi problema kehidupan dan memecahkannya secara arif dan kreatif. Kecakapan hidup yang perlu dikembangkan adalah kecakapan personal, sosial, dan akademik. Kecakapan vokasional terakomodasi dalam mata pelajaran muatan lokal.
I. pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan meningkatkan daya saing global. Keunggulan lokal dapat dikembangkan dalam muatan lokal, pengembangan diri, maupun terintegrasi dalam mata pelajaran.
Bab IV Kalender pendidikan
Berisi rancangan kalender sekolah yang mengacu pada kalender dinas pendidikan terkait dan pedoman penyusunan kalender yang terdapat dalam bab IV standar isi.
Yang perlu disusun dalam kalender pendidikan adalah :
A. Jumlah Minggu Efektif dan Hari Efektif
Menentukan alokasi waktu pada dasarnya adalah menentukan minggu efektif dan hari efektif dalam setiap semester pada satu tahun ajaran.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menentukan alokasi waktu pembelajaran yaitu :
o Tentukan pada bulan apa kegiatan belajar dimulai dan bulan apa berakhir pada semestre pertama dan kedua.
o Tentukan jumlah minggu efektif pada setiap bulan setelah diambil minggu-minggu ujian dan hari libur.
o Tentukan hari relajar efektif dalam setiap minggu.
B. Perencanaan Program Tahunan
Program tahunan adalah rencana penetapan alokasi waktu satu tahun ajaran untuk mencapai tujuan (standar kompetensi dan kompetensi dasar ) yang telah ditetapkan. Perencanaan program tahunan diperlukan agar kompetensi dasar yang ada dalam standar isi seluruhnya dapat dicapai oleh siswa.
Dalam program perencanaan menetapkan alokasi waktu untuk setiap kompetensi dasar yang harus dicapai, disusun dalam program tahunan.Dengan demikian, penyusunan program tahunan pada dasarnya adalah menetapkan jumlah waaktu yang tersedia untuk setiap kompetensi dasar.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan program tahunan adalah :
o Lihat berapa jam alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran dalam seminggu dalam struktur kurikulum seperti yang telah ditetapkan pemerintah.
o Analisis berapa minggu efektif dalam setiap semester seperti yang telah kita tetapkan dalam gambaran alokasi waktu efektif.Melalui analisis tersebut kita dapat menentukan berapa minggu waktu yang tersedia untuk pelaksanaan proses pembelajaran.
Penentuan alokasi waktu didasarkan kepada jumlah jam pelajaran sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku serta keluasan materi yang harus dikuasai oleh siswa.
C. Rencana Program Semester
Rencana program semester merupakan penjabaran dari program tahunan. Kalau program tahunan disusun untuk menentukan jumlah jam yang diperlukan untuk mencapai kompetensi dasar, sedangkan dalam program semester diarahkan untuk menjawab minggu keberapa atau pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar itu dilakukan.
Cara pengisian format program semester adalah sebagai berikut :
o Tentukan standar kompetensi (SK)dan kompetensi dasar (KD) yang ingin dicapai.
o Lihat program tahunan yang telah kita susun untuk menentukan alokasi waktu atau jumlah jam pelajaran setiap SK dan KD itu.
o Tentukan pada bulan dan minggu ke berapa proses pembelajaran KD itu akan dilaksanakan.
B. Pengembangan Dokumen II KTSP
Dokumen II (kedua) merupakan penjabaran secara operasional dari dokumen pertama, terdiri dari: silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Dokumen II disusun oleh guru kelas dan guru mata pelajaran, atau kelompok kerja guru kelas atau guru mata pelajaran dalam kegiatan organisasi profesi seperti Kelompok Kerja Guru (untuk guru sekolah dasar), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau bahkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
1. Pengembangan Silabus
Silabus dapat diartikan sebagai rancangan program pembelajaran satu atau kelompok mata pelajaran yang berisi tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa, pokok materi yang harus dipelajari siswa serta bagaimana cara mempelajarinya dan bagaimana cara untuk mengetahui pencapaian kompetensi dasar yang telah ditentukan. Dengan demikian silabus dapat dijadikan pedoman bagi guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran setiap kali melaksanakan pembelajaran.
a. Prinsip Pengembangan Silabus
1. Ilmiah
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
2. Relevan
Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik.
3. Sistematis
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
4. Konsisten
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran , sumber belajar, dan sistem penilaian.
5. Memadai
Cakupan indikator, materi pembelajaran kegiatan pembelajaran , sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.
6. Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pembelajaran kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
7. Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan kebutuhan masyarakat.
8. Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).
b. Unit Waktu Silabus
1. Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
2. Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester, per tahun, dan alokasi waktu mata pelajaran lain yang sekelompok.
3. Implementasi pembelajaran per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum. Khusus untuk SMK/MAK menggunakan penggalan silabus berdasarkan satuan kompetensi.
c. Langkah-langkah Pengembangan Silabus
1. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran sebagaimana tercantum pada Standar Isi, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi, tidak harus selalu sesuai dengan urutan yang ada di SI;
b. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;
c. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar antarmata pelajaran.
2. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran
Mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang pencapaian kompetensi dasar dengan mempertimbangkan:
a. potensi peserta didik;
b. relevansi dengan karakteristik daerah,
c. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik;
d. kebermanfaatan bagi peserta didik;
e. struktur keilmuan;
f. aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
g. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
h. alokasi waktu.
3. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
a. Kegiatan pembelajaran disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik, khususnya guru, agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.
b. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar.
c. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki konsep materi pembelajaran.
d. Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi.
4. Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
Indikator merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
Kata kerja operasional (KKO) Indikator dimulai dari tingkatan berpikir mudah ke sukar, sederhana ke kompleks, dekat ke jauh, dan dari konkrit ke abstrak (bukan sebaliknya).
Kata kerja operasional pada KD benar-benar terwakili dan teruji akurasinya pada deskripsi yang ada di kata kerja operasional indikator.
5. Penentuan Jenis Penilaian
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian.
a. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi.
b. Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
c. Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan siswa.
d. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.
e. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus diberikan baik pada proses misalnya teknik wawancara, maupun produk berupa hasil melakukan observasi lapangan.
6. Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.
7. Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
a. Pengertian dan Fungsi RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah program perencanaan yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk setiap kegiatan proses pembelajaran. RPP dikembangkan berdasarkan silabus.
b. Komponen-komponen RPP
Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas komponen-komponen yang satu sama lain saling berkaitan. Dalam RPP minimal ada lima komponen pokok, yaitu tujuan pembelajaran, materi pelajaran, metode, media dan sumber pembelajaran, serta evaluasi.
C. Contoh Silabus dan RPP.
CONTOH SILABUS PEMBELAJARAN
Madrasah :
Mata Pelajaran : SKI
Kelas / Semester : VII / I
Standar Kompetensi : 3. Memahami sejarah Dakwah Nabi Muhammad SAW periode Madinah
Kompetensi
Dasar Materi
Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator Penilaian Alokasi
Waktu Sumber
Belajar
1 2 3 4 5 6 7
3.1. Mendeskripsikan sejarah Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan
Sejarah Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan di Madinah
• Mencermati motif hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
• Mencermati sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
• Menjelaskan atrategi awal yg ditempuh Nabi di Madinah.
• Berdiskusi tentang keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah.
• Menceritakan motif sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
• Menceritakan sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
• Mengidentifikasi starategi awal yang ditempuh oleh di Madinah.
• Mengidentifikasi keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah
• Meneladani strategi Nabi, kerja keras kaum Muhajirin dalam bidang ekonomi dan keikhlasan kaum Anshar dalam menolong kaum Muhajirin.
Tes lisan
Tes lisan
Penugasan
Penugasan
lembar
pengamatan
6 X 40’ 1. Modul SKI Kelas 1.
2. Reverensi yg relevan:
• Buku SKI Depag
• SKI Toha Putra
• SKI Tiga Serangkai
• Ensiklopedi Islam
• SKI (Sya'labi)
• SKI (Hasan Ibrahim Hasan)
• Internet,
• CD/DVD/ Film.
3.2.Mengambil hikmah dari misi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan di kaitkan dengan perkembangan kondisi sekarang Hikmah dari misi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat • Berdiskusi tentang hikmah dari misi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Madinah
• Mencari keterkaitan misi dakwah Nabi Muhammad saw dlm membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi di Madinah dengan ekonomi masyarakat Islam di sekitar kita.
• Berdiskusi ttg kegiatan dakwah melalui ekonomi/ perdagangan bagi umat Islam di sekitar kita. • Menjelaskan hikmah dari misi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Madinah
• Menjelaskan keterkaitan misi dakwah Nabi Muhammad saw dlm membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi di Madinah dengan ekonomi masyarakat Islam di sekitar kita.
• Mengambil hikmah dari perlunya membangun masyarakat Islam melalui kegiatan ekonomi. Penugasan
Tes tulis 4 X 40’
3.3.Meneladani semangat perjuangan Nabi dan para Sahabat di Madinah
Kisah teladan dari perjuangan Nabi dan para Sahabat di Madinah
• Mengidentifikasi keteladanan dari perjuangan Nabi dan para Sahabat di Madinah
• Mengidentifikasi keteladanan dari kaum Muhajirin di Madinah
• Mengidentifikasi keteladanan dari kaum anshar di Madinah
• meneladani semangat perjuangan Nabi di Madinah
• meneladani semangat perjuangan kaum Muhajirin di Madinah
• meneladani semangat perjuangan kaum Anshar di Madinah
Tes tulis
Tes tulis
Penugasan
4 X 40’ 1. Modul SKI Kelas 1.
2. Reverensi yg relevan:
• Buku SKI Depag
• SKI Toha Putra
• SKI Tiga Serangkai
• Ensiklopedi Islam
• SKI (Sya'labi)
• SKI (Hasan Ibrahim Hasan)
• Internet,
• CD/DVD/ Film.
Singkut, 2010
Mengetahui, Guru Mapel SKI
Kepala Madrasah
NIP. NIP.
CONTOH RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
( R P P )
Madrasah : MTsN Singkut
Mata Pelajaran : Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
Kelas : VII / 1
Alokasi Waktu : 6 x 40 menit
Standar Kompetensi : 3. Memahami sejarah Nabi Muhammad SAW periode Madinah
Kompetensi Dasar : 3.1 Mendeskripsikan sejarah Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan.
A. Indikator
Menyebutkan motif hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
Menceritakan sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Mengidentifikasi strategi awal Nabi di Madinah.
Mengidentifikasi keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah.
Meneladani kecakapan Nabi dalam menjalankan starteginya, sikap kerja keras kaum Muhajirin dalam bidang ekonomi dan keikhlasan kaum Anshar dalam menolong kaum Muhajirin.
B. Tujuan Pembelajaran
Siswa mampu menyebutkan motif hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Siswa mampu mencermati sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Siswa mampu menjelaskan strategi awal Nabi di Madinah.
Siswa mampu mengidentifikasi keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah.
Siswa dapat meneladani kecakan Nabi dalam mengambil strategi, sikap kerja keras kaum Muhajirin dalam bidang ekonomi dan keikhlasan kaum Anshar dalam menolong kaum Muhajirin.
C. Materi
Sejarah Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan di Madinah.
D. Metode dan Pendekatan Pembelajaran
Metode : Ceramah, Tanya Jawab, Penugasan, Diskusi
Pendekatan : Reding Research dari sumber-sumber dan menceritakan kembali.
E. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan awal
Siswa berdo’a bersama dengan bimbingan guru.
Guru memotivasi akan pentingnya kompetensi yang akan dipelajari.
Kegiatan Inti
Siswa membentuk kelompok dengan bimbingan guru menjadi 5 / 6 kelompok
Siswa membaca buku dan sumber lain tentang motif hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Siswa membaca buku dan sumber lain tentang sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
Siswa membaca buku dan sumber lain tentang strategi awal Nabi di Madinah.
Siswa membaca buku tentang keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah.
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil bacaan dan pemahamannya kepada kelompok lainnya dibawah bimbingan guru.
Guru mengapresiasikan hasil masing-masing kelompok.
Guru mengadakan tanya jawab dan menjelaskan tentang motif hijrah, sejarah singkat hijrah, sikap Nabi terhadap kaum Muhajirin dan Anshar serta keberhasilan dakwah Nabi dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah.
Guru menjelaskan dan menegaskan perlunya meneladani kecakapan Nabi dalam menjalankan strateginya, sikap kerja keras kaum Muhajirin dalam bidang ekonomi dan keikhlasan kaum Anshar dalam menolong kaum Muhajirin.
Masing-masing kelompok membuat kesimpulan dari pemahamannya.
Kegiatan Akhir
Guru menekankan pentingnya bersikap sesuai sikap Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa dan guru merancang pembelajaran berikutnya berdasarkan pengalaman pembelajaran saat itu.
Penutup, doa.
F. Sumber Belajar
Sumber Pokok : Diktat SKI MTs Kelas 1;
Sumber Penunjang : Buku SKI Depag, SKI Toha Putra, SKI Tiga Serangkai, Ensiklopedi Islam, SKI (Sya'labi), SKI (Hasan Ibrahim Hasan), Internet, CD/DVD/ Film, dll.
G. Penilaian
Indikator Pencapaian Kompetensi Teknik Penilaian Bentuk Penilaian Contoh Instrumen
• Menyebutkan motif hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah Tes lisan Uraian Sebutkan hal-hal yang menyebabkan Nabi hijrah ke Madinah!
• Menceritakan sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Tes lisan Uraian Ceritakan dengan singkat sejarah hijrahnya Nabi dari Mekah ke Madinah!
• Mengidentifikasi strategi awal Nabi di Madinah. Penugasan Tugas Strategi apakah yang dilakukan oleh Nabi di Madinah?
• Mengidentifikasi keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah Penugasan Tugas Bagaimanakah langkah yang ditempuh Nabi dalam membangun perekonomian masyarakat Madinah?
• Meneladani kecakapan Nabi dalam strategi, kerja keras kaum Muhajirin dalam bidang ekonomi dan keikhlasan kaum Anshar dalam menolong kaum Muhajirin. Lembar Pengamatan Penerapan nilai-nilai teladan Teladanilah akhlakul karimah/ sikap Nabi Muhammad, kaum Muhajirin dan kaum Anshar!
Mengetahui,
Kepala Madrasah
NIP. Singkut , ................................2010
Guru Bidang Studi Sejarah Kebudayaan Islam
NIP.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang dikembangkan oleh seluruh warga sekolah, oleh karenanya bagi setiap warga sekolah yang terlibat di dalamnya harus memahami secara benar dalam penyusunan atau pengemabangannya.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) terdiri atas dua dokumen, yakni dokumen I dan dokumen II. Dokumen I berisi empat Bab:
Bab I Pendahuluan:
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Prinsip-prinsip Pengembangan KTSP
Bab II Tujuan Pendidikan:
A. Tujuan Pendidikan
B. Visi sekolah
C. Misi sekolah
Bab III Struktur dan Muatan Kurikulum:
A. Mata pelajaran
B. Muatan lokal
C. Kegiatan pengembangan diri
D. Pengaturan beban belajar
E. Ketuntasan belajar
F. Kenaikan kelas dan kelulusan
G. Penjurusan
H. Pendidikan kecakapan hidup
I. pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
Bab IV Kalender pendidikan
A. Jumlah Minggu Efektif dan Hari Efektif
B. Perencanaan Program Tahunan
C. Rencana Program Semester
Sedangkan dokumen II (kedua) merupakan penjabaran secara operasional dari dokumen pertama, terdiri dari dua hal:
a. silabus
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
B. Penutup
Penulisan makalah ini pada dasarnya masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis tidak menutup diri untuk diberi masukan dan saran. Namun demikian penulis berharap bahwa makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan terima kasih.
***
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah (2006)
http://www.bintangbangsaku.com/content/dokumen-kurikulum-tingkat-satuan-pendidikan
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran: teori dan praktek pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana, 2010).
Selasa, 25 Mei 2010
Organisasi Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah Indonesia, organisasi-organisasi kemasyarakatan bermunculan, baik yang berhaluan keagamaan (Islam), maupun berhaluan nasionalis (politik). Kemunculan beberapa organisasi tersebut merupakan bentuk ekspresi rakyat Indonesia dalam melihat dan kepeduliannya terhadap situasi bangsa yang berada di bawah kolonialisme Belanda.
Berbagai cara yang dilakukan oleh kolonialis Belanda untuk membendung pergerakan nasionalisme rakyat Indonesia, namun justeru rakyat semakin sadar akan pentingnya membangun kekuatan dengan organisasi-organisasi yang mereka bentuk. Dari kesadaran tokoh-tokoh akan pentingnya memperjuangkan rakyat Indonesia dari keterpurukan, beberapa organisasi tersebut akhirnya menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat, maka lahirlah sekolah-sekolah partikelir (swasta) atas usaha para perintis kemerdekaan.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa menjelang kemerdekaan banyak bermunculan organisasi-organisasi kemayarakatan, yang secara umum memiliki dua corak, yakni berhaluan politik dan ajaran agama Islam. Diantara organisasi-organisasi yang berhaluan politik antara lain:
1. Taman Siswa di Yogyakarta;
2. Sekolah Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis;
3. Ksatrian Institut yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung;
4. Perguruan Rakyat di Jakarta dan di Bandung.
Sementara organisasi-organisasi yang berhaluan keagamaan (Islam) antara lain:
1. Sekolah-sekolah Sarikat Islam;
2. Sekolah-sekolah Muhammadiyah;
3. Sumatera Tawalib di Padang;
4. Sekolah-sekolah Nahdlatul Ulama (NU);
5. Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI);
6. Sekolah-sekolah Al-Jami'atul Washliyah;
7. Sekolah-sekolah Al-Irsyad;
8. Sekolah-sekolah formal Islam;
Organisasi-organisasi tersebut menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Dalam perkembangannya organisasi-organisasi tersebut mampu berjuang, baik dalam merebut kemerdekaan, maupun kontribusinya dalam pembinaan sumber daya manusia (SDM) pasca kemerdekaan, terutama organisasi-organisasi yang berhaluan agama Islam. Bagaimana kiprah maupun kontribusi organisasi-organisasi tersebut dalam pembinaan sumber daya manusia, khususnya pendidikan Islam?, merupakan hal yang menjadi motif dalam penulisan makalah ini, dan akan diuraikan dalam pebahasan berikutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Organisasi Islam apa saja yang lahir pada masa pra kemerdekaan?
2. Bagaimana kontribusi organisasi-organisasi tersebut dalam pendidikan Islam di Indonesia?
***
BAB II
ORGANISASI ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA
A. Organisasi Islam
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menjelang kemerdekaan muncul banyak organisasi yang pada dasarnya memperjuangkan kemerdekaan, meski kemudian banyak yang sangat memperhatikan pendidikan Islam pasca kemerdekaan.
Diantara oranisasi-organisasi tersebut adalah:
1. Aljamiatul Al-Khairiyah.
Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Awalnya organisasi ini didirikan oleh orang-orang Arab kemudian namun terbuka untuk semua lapisan masyarakat, dengan tidak mengikat mata pencaharian mereka.
Dua bidang yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini adalah pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar dan pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi.
Dalam pelaksanaannya sekolah dasar yang dibina mengajarkan berbagai pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti berhitung, sejarah (Sejarah Islam), Ilmu bumi dan lain-lain. Sedangkan program pengiriman anak-anak ke Turki mengalami kendala, sebab di Turki sedang terjadi kemelut dan hasilnya pun dianggap kurang efektif.
2. Al-Ishlah wal Irsyad
Organisasi ini berdiri pada tahun 1914 yang kemudian dikenal dengan Al Irsyad saja. Para pendirinya adalah orang-orang Arab, sebagaimana pendiri Aljamiatul Al-Khairiyah, salah satunya adalah Syekh Ahmad Surkati yang pada awalnya dari Aljamiatul Al-Khairiyah.
Yang menjadi perhatian Al-Ishlah wal Irsyad adalah bidang pendidikan, terutama pendidikan bagi orang-orang Arab dan kemudian meluas ke masyarakat umum di Indonesia. Pergerakan organisasi ini ternyata lebih progresif di banding dengan Al-jamiatul Al-Khairiyah. Ini terlihat dengan banyaknya sekolah di Jakarta yang didirikan oleh organisasi ini, seperti sekolah-sekolah tingkat dasar, sekolah guru, takhasus dua tahun. Hal serupa juga terlihat dengan semangatnya para pengurus mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah, seperti di Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan Lawang.
3. Perserikatan Ulama
Perserikatan Ulama didirikan di Majalengka, Jawa Barat pada tahun 1911. Organisasi ini didirikan dalam rangka menegakkan gerakan pembaharuan atas inisiatif Kyai haji Abdul Halim. Pada tahun 1916 dipandang perlu mendirikan lembaga pendidikan yang lebih modern, maka didirikanlah sekolah dengan nama Jam'iyat I'anat al-Muta'alimin yang sangat direspon positif oleh guru-guru di daerah tersebut. Pada tahun 1924 Perserikatan Ulama memperluas daerah operasinya yang meliputi seluruh Jawa dan Madura, serta tahun 1937 ke seluruh Indonesia.
4. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912, bertepatan dengan tanggal 18 Dzul hijjah 1330 H oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, dengan tujuan amar ma'ruf nahi munkar yang berakidahkan Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunah.
Menurut Ahmad Dahlan, ada lima faktor yang menyebabkan ia mendirikan Muhammadiyah, yaitu:
a) Ia melihat bahwa umat Islam banyak yang sudah tidak memegang teguh Al-Quran dan Sunah dalam beramal, sehingga amal mereka tercampur dengan kemusyrikan, bid'ah, khurafat dan tahayul.
b) Lembaga-lembaga agama ketika itu tidak efisien, seperti halnya pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan saat itu terjadi perpecahan, dimana pendidikan umum (sekuler) dikembangkan oleh Belanda, sedangkan pendidikan agama dibina oleh pesantren, dan di sinilah awal pemisahan istilah ilmu agama dan ilmu umum di Indonesia.
c) Kemiskinan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia, terutama kaum buruh, serta enggannya kaum kaya membayar zakat, sehingga mempertajam jurang pemisah diantar keduanya.
d) Aktivitas misionaris Katolik dan Protestan semakin giat sejak awal abad ke-19 yang disubsidi oleh Belanda.
e) Secara umum umat Islam hidup dalam fanatisme yang sempit, taklid buta, serta berfikir secara dogmatis, kehidupan Islam masih diwarnai dengan konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tujuan Muhammadiyah adalah karena kondisi bagsa dan umat Islam saat itu serta perhatiannya bagi kelangsungan masa depan umat. Untuk itulah banyak didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah, bahkan sampai saat ini bertebaran di seluruh penjuru nusantara. Diantar sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua adalah:
a). Kweekschool Muhammadiyah, Yogyakarta;
b). Mu'alimin Muhammadiyah, Solo dan Yogyakarta;
c). Mu'alimat Muhammadiyah, Yogyakarta;
d). Zu'ama/ Za'imat, Yogyakarta;
e). Kulliyah Muballigin/ Muballighat, Madang Panjang
f). Tablighschool, Yogyakarta;
g). HIK Muhammadiyah, Yogyakarta;
h). HIS, Mulo, AMS, MI, MTs, Gusta Muhammadiyah, dan lain-lain.
5. Mathlaul Anwar (MA)
Mathlaul Anwar (MA) didirikan pada tanggal 10 Syawal 1334 H, bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1916 M. Di Banten. Organisasi ini bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial yang beraqidahkan Islam ala ahlus sunah wal jama'ah. atas prakarsa KH. Mas Abdurrahman yang lahir di Pandeglang Banten pada tahun 1868. Ia pernah berguru kepada Imam Nawawi al_bantani di Arab, lalu di kampung halamannya bergabung dengan seniornya KH. Enthol, Mohammad Yasin dan KH. Tb. Muhammad Sholeh.
Mathlaul Anwar berkembang pesat khususnya di daerah Banten, dimana lembaga-lembaga pendidikan banyak didirikan, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, hingga kini masih eksis di sana.
6. Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama atau NU, merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia saat ini. NU didirikan pada tanggal 33 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H. Di Surabaya. Pendiri NU antara lain : KH Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Abdullah, KH. Bisri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. R. Asnawi, KH. R. Hambali, K Nakhrawi, KH. Doromuntaha, KH. Alwi Abdul Aziz, dan lain-lain.
Maksud dari pendirian NU antara lain adalah memegang teguh salah satu dari mandzhab imam yang empat, yaitu Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, dan mengerjakan apa-apa yang menjadi kemaslahatan umat Islam. Ikhtiar untuk mencapai maksud tersebut meliputi:
a) Mengadakan hubungan dengan ulama-ulama yang bermadzhab sebagaiman tersebut di atas;
b) Memeriksa kitab-kitab sebelum digunakan, apakah termasuk dalam kitab ahli sunnah wal jama'ah atau ahli bid'ah;
c) Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada madzhab tersebut;
d) Memperbanyak madrasah-madrasah yang berasaskan Islam;
e) Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau, pondok-pondok pesantren, juga perhatiannya terhadap anak yatim, dan fakir miskin;
f) Mendirikan badan-badan untuk urusan pertanian, pernigaan, perusahaan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Di bidang pendidikan dan pengajaran formal, Nahdlattul Ulama (NU) membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan ini, yakni Al-Ma'arif dan bertugas untuk program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU. Berdasarkan konferensi besar NU pada tanggal 23-26 Februari 1954, ditetapkan susunan sekolah-sekolah NU sebagai berikut:
a). Raudlatul Athfal (RA) setingkat Taman Kanak-kanak, 3 tahun;
b). SR (Sekolah Rendah) setingkat SD, 6 tahun;
c). SMP NU, 3 tahun;
d). SMA NU, 3 tahun;
e). SGA NU (SPG), 3 tahun;
f). MMP NU (Madrasah Menengah Pertama), 3 tahun;
g). MMA NU (Madrasah Menengah Atas), 3 tahun;
h). Muallimin/ Muallimat NU, 5 tahun.
Dalam perkembangan sekarang beberapa diantaranya sudah tidak dibuka lagi dan kemudian lebih banyak dikenal dengan sekolah-sekolah Ma'arif.
7. Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam yang kemudian disingkat dengan PERSIS merupakan salah satu organisasi Islam di Indonesia yang secara formal didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923 M (bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H).
Adapun gerakan perjuangan Persis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bidang Keagamaan
a) Mengarahkan pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah
b) Menghidupkan Ijtihad
c) Membasmi bid'ah, khurafat, takhayul, taklid, dan syirik
d) Memperluas tabligh dan dakwah
2. Sosial dan Politik
a) Panislamisme
b) Nasionalisme
3. Bidang Pendidikan
Menurut Deliar Noer sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, bahwa Persis sejak dahulu banyak bergerak dibidang pendidikan dan sosial, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kegiatan pendidikan yang dilakukan Persis, dinataranya: tahun 1924 menyelenggaran kelas pendidikan akidak dan ibadah, 1927 menyelenggaran pendidikan Islam bagi sekolah-sekolah Belanda, 1930 mendirikan Pendidikan Islam (Pendis), mendirikan Pesantren Persis tahun 1936, dan membuka Pesantren Putri di Bangil tahun 1941.
B. Pendidikan Islam di Indonesia
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pendidikan Islam pada awalnya dikelola oleh sejumlah organisasi Islam yang lahir menjelang kemerdekaan. Kepedulian para pendiri organisasi terhadap kondisi bangsa saat itu mendorong sejumlah langkah untuk mencapai kemerdekaan, termasuk mencerdaskan generasi Islam dari kebodohan.
Setelah kemerdekaan tidak serta merta pendidikan Islam yang dirintis berhenti, justeru di antaranya semakin berkembang pesat ke seluruh pelosok negeri. Ini wajar karena bangsa Indonesia baru terbebas dari penjajahan dan berusaha menata kehidupan dengan berbagai potensi sumber daya manusia yang banyak ditempa di lembaga-lembaga pendidikan. Organisas-organisasi yang membentuk lembaga pendidikan sebagaimana disebutkan di atas adalah:
1. Alamiatul Al-Khairiyah.
2. Al-Ishlah wal Irsyad
3. Perserikatan Ulama
4. Muhammadiyah
5. Mathlaul Anwar (MA)
6. Nahdlatul Ulama (NU)
7. Persatuan Islam (Persis)
Dari ketujuh organisasi ini yang masih eksis antara lain sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tersebar di seluruh pelosok negeri, dari tingkat RA hingga perguruan tinggi. Pusat persebaran tertua adalah di Yogyakarta dan di Sumatera Barat. Sekolah-sekolah Mathlaul Anwar juga masih eksis, namun terfokus di Menes Banten, walaupun dalam skup kecil banyak tersebar ke daerah Lampung dan daerah linnya di Sumatera, Sulawesi dan lain-lain. Pendidikan Mathlaul Anwar juga meliputi tingkat RA hingga perguruan tinggi.
Sementara pendidikan yang dibina oleh Nahdlatul Ulama dalam organisasi otonom Al-Ma'arif juga masih eksis dan tersebar di seluruh penjuru negeri. Al-ma'arif juga membina pandidikan mulai tingkat RA/ atau TK hingga perguruan tinggi. Demikian juga dengan pendidikan yang dibina oleh Persatuan Islam (Persis) hingga kini masih eksis, khususnya di daerah Bandung dan Bangil Jawa Timur sebagai baisis dengan pesantren dan sekolahnya yang dalam penyelenggaraannya pada masa awal-awal tidak berdasarkan kurikulum pemerintah, namun menggunakan kurikulum tersendiri.
Pendidikan Islam yang banyak dirintis oleh beberapa organisasi keagamaan itu kemudian tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Di samping itu yang kemudian muncul adalah persoalan dimana masing-masing organisasi membawa misi faham ajaran sesuai organisasinya masing-masing namun demikian terbukti membawa eksistensi pendidikan Islam di Indonesia hingga sekarang.
***
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menjelang kemerdekaan banyak bermunculan organisasi yang peduli terhadap kondisi bangsa saat itu yang berada dalam kerangkeng penjajahan Belanda. Dengan semangat para tokoh-tokoh terpelajar mendirikan organisasi-oranisasi baik yang secara terang-terangan berhaluan politik untuk merdeka, maupun yang berhaluan agama yang secara tersirat untuk berjuang jihad mengusir penjajah.
Seiring pendirian organisasi tersebut, pandidikan mulai digalakkan agar masyarakat terbebas dari kebodohan dan keterbelakangan yang menyebabkan terus-menerus dijajah. Berawal dari itulah pendidikan Islam khususnya banyak diajarkan, hingga pada khirnya pendidikan agama terus berkembang hingga sekarang.
Dianatar organisasi-organisasi tersebut yang masih dapat kita jumpai saat ini dalam kiprahnya di dunia pendidika Islam, antara lain, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Ulama (Al-Ma'arif), dan Persis yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
B. Penutup
Penulisan makalah ini pada dasarnya masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis tidak menutup diri untuk diberi masukan dan saran. Namun demikian penulis berharap bahwa makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan terima kasih.
***
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Hafizh (ed) , ENSIKLOPEDI ISLAM (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002)
Djamaluddin, dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)
PB. Mathlaul Anwar, AD/ ART: Program Umum dan Personalia Pengurus Besar Mathlaul Anwar 1996-2001 (Jakarta: PB. Mathlaul Anwar, 1996)
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta, Ar-Ruzz, 2006)
Widodo, Sembodo Ardi, Pendidikan Islam di Indonesia: Dasar Pemikiran dan Implementasi (Yogyakarta: Pustaka Felicha, 2009)
Yatim, Badri, Sejarah peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah Indonesia, organisasi-organisasi kemasyarakatan bermunculan, baik yang berhaluan keagamaan (Islam), maupun berhaluan nasionalis (politik). Kemunculan beberapa organisasi tersebut merupakan bentuk ekspresi rakyat Indonesia dalam melihat dan kepeduliannya terhadap situasi bangsa yang berada di bawah kolonialisme Belanda.
Berbagai cara yang dilakukan oleh kolonialis Belanda untuk membendung pergerakan nasionalisme rakyat Indonesia, namun justeru rakyat semakin sadar akan pentingnya membangun kekuatan dengan organisasi-organisasi yang mereka bentuk. Dari kesadaran tokoh-tokoh akan pentingnya memperjuangkan rakyat Indonesia dari keterpurukan, beberapa organisasi tersebut akhirnya menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat, maka lahirlah sekolah-sekolah partikelir (swasta) atas usaha para perintis kemerdekaan.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa menjelang kemerdekaan banyak bermunculan organisasi-organisasi kemayarakatan, yang secara umum memiliki dua corak, yakni berhaluan politik dan ajaran agama Islam. Diantara organisasi-organisasi yang berhaluan politik antara lain:
1. Taman Siswa di Yogyakarta;
2. Sekolah Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis;
3. Ksatrian Institut yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung;
4. Perguruan Rakyat di Jakarta dan di Bandung.
Sementara organisasi-organisasi yang berhaluan keagamaan (Islam) antara lain:
1. Sekolah-sekolah Sarikat Islam;
2. Sekolah-sekolah Muhammadiyah;
3. Sumatera Tawalib di Padang;
4. Sekolah-sekolah Nahdlatul Ulama (NU);
5. Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI);
6. Sekolah-sekolah Al-Jami'atul Washliyah;
7. Sekolah-sekolah Al-Irsyad;
8. Sekolah-sekolah formal Islam;
Organisasi-organisasi tersebut menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Dalam perkembangannya organisasi-organisasi tersebut mampu berjuang, baik dalam merebut kemerdekaan, maupun kontribusinya dalam pembinaan sumber daya manusia (SDM) pasca kemerdekaan, terutama organisasi-organisasi yang berhaluan agama Islam. Bagaimana kiprah maupun kontribusi organisasi-organisasi tersebut dalam pembinaan sumber daya manusia, khususnya pendidikan Islam?, merupakan hal yang menjadi motif dalam penulisan makalah ini, dan akan diuraikan dalam pebahasan berikutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Organisasi Islam apa saja yang lahir pada masa pra kemerdekaan?
2. Bagaimana kontribusi organisasi-organisasi tersebut dalam pendidikan Islam di Indonesia?
***
BAB II
ORGANISASI ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA
A. Organisasi Islam
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menjelang kemerdekaan muncul banyak organisasi yang pada dasarnya memperjuangkan kemerdekaan, meski kemudian banyak yang sangat memperhatikan pendidikan Islam pasca kemerdekaan.
Diantara oranisasi-organisasi tersebut adalah:
1. Aljamiatul Al-Khairiyah.
Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Awalnya organisasi ini didirikan oleh orang-orang Arab kemudian namun terbuka untuk semua lapisan masyarakat, dengan tidak mengikat mata pencaharian mereka.
Dua bidang yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini adalah pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar dan pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi.
Dalam pelaksanaannya sekolah dasar yang dibina mengajarkan berbagai pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti berhitung, sejarah (Sejarah Islam), Ilmu bumi dan lain-lain. Sedangkan program pengiriman anak-anak ke Turki mengalami kendala, sebab di Turki sedang terjadi kemelut dan hasilnya pun dianggap kurang efektif.
2. Al-Ishlah wal Irsyad
Organisasi ini berdiri pada tahun 1914 yang kemudian dikenal dengan Al Irsyad saja. Para pendirinya adalah orang-orang Arab, sebagaimana pendiri Aljamiatul Al-Khairiyah, salah satunya adalah Syekh Ahmad Surkati yang pada awalnya dari Aljamiatul Al-Khairiyah.
Yang menjadi perhatian Al-Ishlah wal Irsyad adalah bidang pendidikan, terutama pendidikan bagi orang-orang Arab dan kemudian meluas ke masyarakat umum di Indonesia. Pergerakan organisasi ini ternyata lebih progresif di banding dengan Al-jamiatul Al-Khairiyah. Ini terlihat dengan banyaknya sekolah di Jakarta yang didirikan oleh organisasi ini, seperti sekolah-sekolah tingkat dasar, sekolah guru, takhasus dua tahun. Hal serupa juga terlihat dengan semangatnya para pengurus mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah, seperti di Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan Lawang.
3. Perserikatan Ulama
Perserikatan Ulama didirikan di Majalengka, Jawa Barat pada tahun 1911. Organisasi ini didirikan dalam rangka menegakkan gerakan pembaharuan atas inisiatif Kyai haji Abdul Halim. Pada tahun 1916 dipandang perlu mendirikan lembaga pendidikan yang lebih modern, maka didirikanlah sekolah dengan nama Jam'iyat I'anat al-Muta'alimin yang sangat direspon positif oleh guru-guru di daerah tersebut. Pada tahun 1924 Perserikatan Ulama memperluas daerah operasinya yang meliputi seluruh Jawa dan Madura, serta tahun 1937 ke seluruh Indonesia.
4. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912, bertepatan dengan tanggal 18 Dzul hijjah 1330 H oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, dengan tujuan amar ma'ruf nahi munkar yang berakidahkan Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunah.
Menurut Ahmad Dahlan, ada lima faktor yang menyebabkan ia mendirikan Muhammadiyah, yaitu:
a) Ia melihat bahwa umat Islam banyak yang sudah tidak memegang teguh Al-Quran dan Sunah dalam beramal, sehingga amal mereka tercampur dengan kemusyrikan, bid'ah, khurafat dan tahayul.
b) Lembaga-lembaga agama ketika itu tidak efisien, seperti halnya pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan saat itu terjadi perpecahan, dimana pendidikan umum (sekuler) dikembangkan oleh Belanda, sedangkan pendidikan agama dibina oleh pesantren, dan di sinilah awal pemisahan istilah ilmu agama dan ilmu umum di Indonesia.
c) Kemiskinan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia, terutama kaum buruh, serta enggannya kaum kaya membayar zakat, sehingga mempertajam jurang pemisah diantar keduanya.
d) Aktivitas misionaris Katolik dan Protestan semakin giat sejak awal abad ke-19 yang disubsidi oleh Belanda.
e) Secara umum umat Islam hidup dalam fanatisme yang sempit, taklid buta, serta berfikir secara dogmatis, kehidupan Islam masih diwarnai dengan konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tujuan Muhammadiyah adalah karena kondisi bagsa dan umat Islam saat itu serta perhatiannya bagi kelangsungan masa depan umat. Untuk itulah banyak didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah, bahkan sampai saat ini bertebaran di seluruh penjuru nusantara. Diantar sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua adalah:
a). Kweekschool Muhammadiyah, Yogyakarta;
b). Mu'alimin Muhammadiyah, Solo dan Yogyakarta;
c). Mu'alimat Muhammadiyah, Yogyakarta;
d). Zu'ama/ Za'imat, Yogyakarta;
e). Kulliyah Muballigin/ Muballighat, Madang Panjang
f). Tablighschool, Yogyakarta;
g). HIK Muhammadiyah, Yogyakarta;
h). HIS, Mulo, AMS, MI, MTs, Gusta Muhammadiyah, dan lain-lain.
5. Mathlaul Anwar (MA)
Mathlaul Anwar (MA) didirikan pada tanggal 10 Syawal 1334 H, bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1916 M. Di Banten. Organisasi ini bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial yang beraqidahkan Islam ala ahlus sunah wal jama'ah. atas prakarsa KH. Mas Abdurrahman yang lahir di Pandeglang Banten pada tahun 1868. Ia pernah berguru kepada Imam Nawawi al_bantani di Arab, lalu di kampung halamannya bergabung dengan seniornya KH. Enthol, Mohammad Yasin dan KH. Tb. Muhammad Sholeh.
Mathlaul Anwar berkembang pesat khususnya di daerah Banten, dimana lembaga-lembaga pendidikan banyak didirikan, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, hingga kini masih eksis di sana.
6. Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama atau NU, merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia saat ini. NU didirikan pada tanggal 33 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H. Di Surabaya. Pendiri NU antara lain : KH Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Abdullah, KH. Bisri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. R. Asnawi, KH. R. Hambali, K Nakhrawi, KH. Doromuntaha, KH. Alwi Abdul Aziz, dan lain-lain.
Maksud dari pendirian NU antara lain adalah memegang teguh salah satu dari mandzhab imam yang empat, yaitu Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, dan mengerjakan apa-apa yang menjadi kemaslahatan umat Islam. Ikhtiar untuk mencapai maksud tersebut meliputi:
a) Mengadakan hubungan dengan ulama-ulama yang bermadzhab sebagaiman tersebut di atas;
b) Memeriksa kitab-kitab sebelum digunakan, apakah termasuk dalam kitab ahli sunnah wal jama'ah atau ahli bid'ah;
c) Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada madzhab tersebut;
d) Memperbanyak madrasah-madrasah yang berasaskan Islam;
e) Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau, pondok-pondok pesantren, juga perhatiannya terhadap anak yatim, dan fakir miskin;
f) Mendirikan badan-badan untuk urusan pertanian, pernigaan, perusahaan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Di bidang pendidikan dan pengajaran formal, Nahdlattul Ulama (NU) membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan ini, yakni Al-Ma'arif dan bertugas untuk program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU. Berdasarkan konferensi besar NU pada tanggal 23-26 Februari 1954, ditetapkan susunan sekolah-sekolah NU sebagai berikut:
a). Raudlatul Athfal (RA) setingkat Taman Kanak-kanak, 3 tahun;
b). SR (Sekolah Rendah) setingkat SD, 6 tahun;
c). SMP NU, 3 tahun;
d). SMA NU, 3 tahun;
e). SGA NU (SPG), 3 tahun;
f). MMP NU (Madrasah Menengah Pertama), 3 tahun;
g). MMA NU (Madrasah Menengah Atas), 3 tahun;
h). Muallimin/ Muallimat NU, 5 tahun.
Dalam perkembangan sekarang beberapa diantaranya sudah tidak dibuka lagi dan kemudian lebih banyak dikenal dengan sekolah-sekolah Ma'arif.
7. Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam yang kemudian disingkat dengan PERSIS merupakan salah satu organisasi Islam di Indonesia yang secara formal didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923 M (bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H).
Adapun gerakan perjuangan Persis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bidang Keagamaan
a) Mengarahkan pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah
b) Menghidupkan Ijtihad
c) Membasmi bid'ah, khurafat, takhayul, taklid, dan syirik
d) Memperluas tabligh dan dakwah
2. Sosial dan Politik
a) Panislamisme
b) Nasionalisme
3. Bidang Pendidikan
Menurut Deliar Noer sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, bahwa Persis sejak dahulu banyak bergerak dibidang pendidikan dan sosial, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kegiatan pendidikan yang dilakukan Persis, dinataranya: tahun 1924 menyelenggaran kelas pendidikan akidak dan ibadah, 1927 menyelenggaran pendidikan Islam bagi sekolah-sekolah Belanda, 1930 mendirikan Pendidikan Islam (Pendis), mendirikan Pesantren Persis tahun 1936, dan membuka Pesantren Putri di Bangil tahun 1941.
B. Pendidikan Islam di Indonesia
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pendidikan Islam pada awalnya dikelola oleh sejumlah organisasi Islam yang lahir menjelang kemerdekaan. Kepedulian para pendiri organisasi terhadap kondisi bangsa saat itu mendorong sejumlah langkah untuk mencapai kemerdekaan, termasuk mencerdaskan generasi Islam dari kebodohan.
Setelah kemerdekaan tidak serta merta pendidikan Islam yang dirintis berhenti, justeru di antaranya semakin berkembang pesat ke seluruh pelosok negeri. Ini wajar karena bangsa Indonesia baru terbebas dari penjajahan dan berusaha menata kehidupan dengan berbagai potensi sumber daya manusia yang banyak ditempa di lembaga-lembaga pendidikan. Organisas-organisasi yang membentuk lembaga pendidikan sebagaimana disebutkan di atas adalah:
1. Alamiatul Al-Khairiyah.
2. Al-Ishlah wal Irsyad
3. Perserikatan Ulama
4. Muhammadiyah
5. Mathlaul Anwar (MA)
6. Nahdlatul Ulama (NU)
7. Persatuan Islam (Persis)
Dari ketujuh organisasi ini yang masih eksis antara lain sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tersebar di seluruh pelosok negeri, dari tingkat RA hingga perguruan tinggi. Pusat persebaran tertua adalah di Yogyakarta dan di Sumatera Barat. Sekolah-sekolah Mathlaul Anwar juga masih eksis, namun terfokus di Menes Banten, walaupun dalam skup kecil banyak tersebar ke daerah Lampung dan daerah linnya di Sumatera, Sulawesi dan lain-lain. Pendidikan Mathlaul Anwar juga meliputi tingkat RA hingga perguruan tinggi.
Sementara pendidikan yang dibina oleh Nahdlatul Ulama dalam organisasi otonom Al-Ma'arif juga masih eksis dan tersebar di seluruh penjuru negeri. Al-ma'arif juga membina pandidikan mulai tingkat RA/ atau TK hingga perguruan tinggi. Demikian juga dengan pendidikan yang dibina oleh Persatuan Islam (Persis) hingga kini masih eksis, khususnya di daerah Bandung dan Bangil Jawa Timur sebagai baisis dengan pesantren dan sekolahnya yang dalam penyelenggaraannya pada masa awal-awal tidak berdasarkan kurikulum pemerintah, namun menggunakan kurikulum tersendiri.
Pendidikan Islam yang banyak dirintis oleh beberapa organisasi keagamaan itu kemudian tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Di samping itu yang kemudian muncul adalah persoalan dimana masing-masing organisasi membawa misi faham ajaran sesuai organisasinya masing-masing namun demikian terbukti membawa eksistensi pendidikan Islam di Indonesia hingga sekarang.
***
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menjelang kemerdekaan banyak bermunculan organisasi yang peduli terhadap kondisi bangsa saat itu yang berada dalam kerangkeng penjajahan Belanda. Dengan semangat para tokoh-tokoh terpelajar mendirikan organisasi-oranisasi baik yang secara terang-terangan berhaluan politik untuk merdeka, maupun yang berhaluan agama yang secara tersirat untuk berjuang jihad mengusir penjajah.
Seiring pendirian organisasi tersebut, pandidikan mulai digalakkan agar masyarakat terbebas dari kebodohan dan keterbelakangan yang menyebabkan terus-menerus dijajah. Berawal dari itulah pendidikan Islam khususnya banyak diajarkan, hingga pada khirnya pendidikan agama terus berkembang hingga sekarang.
Dianatar organisasi-organisasi tersebut yang masih dapat kita jumpai saat ini dalam kiprahnya di dunia pendidika Islam, antara lain, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Ulama (Al-Ma'arif), dan Persis yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
B. Penutup
Penulisan makalah ini pada dasarnya masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis tidak menutup diri untuk diberi masukan dan saran. Namun demikian penulis berharap bahwa makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan terima kasih.
***
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Hafizh (ed) , ENSIKLOPEDI ISLAM (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002)
Djamaluddin, dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)
PB. Mathlaul Anwar, AD/ ART: Program Umum dan Personalia Pengurus Besar Mathlaul Anwar 1996-2001 (Jakarta: PB. Mathlaul Anwar, 1996)
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta, Ar-Ruzz, 2006)
Widodo, Sembodo Ardi, Pendidikan Islam di Indonesia: Dasar Pemikiran dan Implementasi (Yogyakarta: Pustaka Felicha, 2009)
Yatim, Badri, Sejarah peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008)
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya tulis ilmiah merupakan produk dari sebuah kegiatan ilmiah yang pada umumnya memiliki tujuan mendapat pengakuan scientifik objektive untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, dengan pemaparan teori-teori baru yang sahih serta handal; dan Pengakuan praticial objektive guna membantu pemecahan problem praktisi yang mendesak.
Untuk mencapai kedua tujuan tersebut, sebuah penelitian harus memiliki kebenaran yang dapat diuji, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara faktual. Uji keabsahan data dalam penelitian secara umum ditekankan pada validitas dan reliabilitas. Apa dan bagaimana validitas dan reliabilitas instrument dalam sebuah penelitian akan dibahas lebih lanjut pada bahsan berikutnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian validitas dan reliabilitas Instrumen?
2. Bagaimana validitas instrumen dalam penelitian?
3. Bagaimana reliabilitas instrumen dalam penelitian?
***
BAB II
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN
A. Pengertian Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang berarti kebenaran atau keabsahan. Sedangkan menurut istilah validity mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sebuah tes atau instrumen yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes atau instrumen yang memiliki validitas rendah.
Validitas juga dapat dikatakan sebagai derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian. Sebagai contoh, jika dalam objek penelitian di sebuah lembaga pendidikan terdapat guru yang tidak profesional, maka peneliti melaporkan bahwa guru di sebuah lembaga pendidikan itu tidak profesional. Bila peneliti melaporkan yang tidak sesuai, maka data yang disampaikan tersebut dapat dinyatakan tidak valid.
Seperti diuraikan di atas, validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Sekiranya peneliti menggunakan kuisioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuisioner yang disusunya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuisioner tersebut disusun dan teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang terkumpul adalah data yang valid. Banyak hal-hal lain yang dapat mengurangi validitas data; misalnya apakah pewawancara betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuisioner. Selain itu validitas data akan ditentukan oleh keadaan responden sewaktu diwawancara.
2. Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti "hal dapat dipercaya" dan "hal tahan uji". Reliabilitas memiliki beberapa nama, seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi dan lain sebagainya. Sementara menurut istilah penelitian, reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliable).
Dalam pengertian serupa, reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur digunakan dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif sama atau konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata lain reabilitas menunjukkan konsisten suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama.
B. Validitas Instrumen dalam Penelitian
Validitas sebuah instrumen, menurut para ahli dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, diantaranya:
a. Jenis Validitas
a. Validitas konstruk
Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Misalkan seorang peneliti ingin mengukur konsep religiusitas. Pertama-tama yang harus dilakukan oleh peneliti ialah mencari apa saja yang menjadi kerangka dari konsep tersebut.
Untuk mencari kerangka konsep tersebut perlu ditempuh dengan berbagai cara, misalnya :
1). Mencari defenisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis di dalam literatur;
2). Kalau sekiranya di dalam literatur tidak dapat diperoleh definisi konsep yang ingin diukur, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Untuk membantu penyusunan definisi dan mewujudkan definisi tersebut ke dalam bentuk yang operasional, peneliti disarankan untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan ahli-ahli yang berkompeten di bidang konsep yang akan diukur. Kemudian pendapat para ahli dan peneliti dicarai kesamaannya;
3). Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden.
Contoh dari pendekatan pertama adalah konsep religiusitas-nya Glock dan Stark (1963). Menurut kedua ahli tersebut, untuk mengetahui kadar religiusitas individu dapat dipakai kerangka sebagai berikut:
• Keterlibatan ritual;
• Keterlibatan ideologis;
• Keterlibatan intelektual;
• Keterlibatan pengalaman;
• Keterlibatan secara konsekuen.
b. Validitas isi
Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Misalkan seorang peneliti menggunakan konsepnya Glock dan Stark (1963) sebagaimana di atas, namun ia hanya memasukkan tiga aspek saja dari lima aspek yang merupakan kerangka konsep, maka instrumen yang digunkan tidak memiliki validitas isi yang tinggi.
c. Validitas eksternal
Validitas eksternal adalah validitas yang diperoleh dengan cara mengkorelasikan alat pengukur baru dengan tolok ukur eksternal, berupa alat ukur yang sudah valid, atau antara satu instrumen yang sudah valid dengan instrumen lain dan memiliki hasil yang relatif sama. Contoh untuk mengukur status ekonomi keluarga misalkan dengan penghasilan keluarga; kepemilikan barang berharga; jenis makanan yang dimakan dan pemenuhan gizi-kalori setiap hari. Ketiga aspek tersebut memiliki hasil yang sama dalam mengukur status ekonomi keluarga.
d. Validitas prediktif
Validitas prediktif adalah tingkat kebenaran pada sebuah alat atau instrumen untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Contoh instrumen yang digunakan pada saat ujian seleksi ke perguruan tinggi. Ujian tersebut memprediksi apa yang terjadi pada masa yang akan datang berkaitan dengan mahasiswa. Peserta yang lulus seleksi dengan nilai baik, diprediksikan akan mampu mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan sukses.
e. Validitas budaya
Validitas budaya adalah validitas sebuah instrumen yang berhubungan dengan budaya-budaya yang ada. Instrumen yang valid, dapat memberikan hasil yang sama dalam penelitian terhadap budaya yang berbeda, karena pada umumnya sebuah instrumen dapat valid ketikan digunakan dalam penelitian budaya tertentu, namun tidak valid ketika digunakan dalam penelitian budaya yang lain.
Contohnya kuisioner interaksi keluarga yang digunakan di negara-negara Barat tidak sesuai dengan di Indonesia. Di Barat menggunakan konsep nuclear family yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak, sedangkan di Indonesia keluarga didasarkan pada extended family yang tidak hanya melibatk¬an ayah, ibu dan anak saja, namun keluarga dekat lainnya.
f. Validitas rupa
Validitas rupa adalah jenis validitas yang berbeda dengan jenis validitas yang dikemukanakan di atas. Berbeda dengan jenis validitas lainnya, validitas rupa tidak menunjukkan apakah alat pengukur (instrumen) mengukur apa yang ingin diukur; validitas rupa hanya menunjukkan bahwa dari segi "rupanya" suatu alat pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur.
Contohnya untuk mengukur kemampuan mengendarai mobil, seorang sopir harus disuruh mengendarai mobil, atau menggunakan alat simulasi yang mirip dengan keadaan sesungguhnya. Cara pengukuran yang demikian memiliki validitas rupa. Sedangkan bila pengukuran kemampuan mengendarai mobil dilakukan dengan ujian tertulis tentang teknik mengendarai mobil, maka alat pengukur (instrumen) tersebut kurang memiliki validitas rupa.
Dalam penelitian survai, validitas rupa instrumen bukanlah hal yang menjadi masalah penting. Hal ini disebabkan dalam penelitian survai alat ukur (instrumen) yang digunakan biasanya berupa kuisioner yang tujuannya mencari fakta, bukannya untuk mengukur kemampuan seseorang dalam aspek tertentu, seperti tingkat kecerdasan, kemampuan, bakat dan keterampilan.
b. Cara Menguji Validitas
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan secara sederhana cara menguji validitas alat pengukur (instrumen). Salah satunya mendefinisikan secara operasional konsep yang diukur, sebagaimana diuraikan di atas, yakni :
i Mencari defenisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis di dalam literatur;
ii Kalau sekiranya di dalam literatur tidak dapat diperoleh definisi konsep yang ingin diukur, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Untuk membantu penyusunan definisi dan mewujudkan definisi tersebut ke dalam bentuk yang operasional, peneliti disarankan untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan ahli-ahli yang berkompeten di bidang konsep yang akan diukur. Kemudian pendapat para ahli dan peneliti dicari kesamaannya;
iii Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden.
Dari ketiga cara tersebut sebaiknya digunakan semua agar tercapai validitas instrumen yang tinggi. Dalam contoh berikut, operasioanalisasi konsep "nilai anak" didasarkan pada rumusan yang diajukan oleh Arnold dan Fawcett (1975). Menurut kedua ahli ini, dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal-hal yang merugikan. Apa yang diperoleh tersebut dapat digolongkan ke dalam empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, dan nilai keluarga kecil.
Sebagai contoh akan dikemukakan dua nilai saja, yakni nilai positif dan nilai negatif. Nilai positif merupaka keuntungan karena memiliki anak, dinataranya:
Keuntungan emosional
Keuntungan ekonomi dan rasa aman
Pengayaan dan pengembangan diri
Identifikasi pada anak
Kemesraan keluarga dan keutuhan perkawinan
Nilai negatif adalah hal-hal yang merugikan karena memiliki anak, terdiri atas:
Beban emosional
Beban ekonomi
Berkurangnya keleluasaan dan kesempatan
Beban tenaga
Beban bagi keluarga.
Hal-hal yang bernilai positif atau negatif tersebut selanjutnya harus dijabarkan ke dalam pertanyaan atau pernyataan yang lebih operasional, berikut akan dikemukakan nilai positif dan negatif, masing-masing dua saja.
Keuntungan emosional (rasa senang, cinta, damai karena memiliki anak). Pernyataan dalam skala pengukuran:
a. Orang yang tidak mempunyai anak tidak akan dapat merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
b. Orang yang memiliki anak tidak akan kesepian di dalam hidupnya.
c. Kehadiran anak-anak membuat suasana rumah menjadi meriah.
Keuntungan ekonomi dan rasa aman (diperoleh dari anak berupa sumbangan ekonomis, seperti sumbangan tenaga kerja, uang, dan jaminan ekonomi di hari tua)contoh pernyataan:
a. Banyak anak, banyak rezeki.
b. Dengan banyak anak, pekerjaan di rumah menjadi ringan.
c. Anak adalah jaminan hidup di masa tua.
Beban emosional (kerugian yang didapat orang tua karena memiliki anak: rasa jengkel, ketidaktenangan pikiran dan lain-lain).
a. Memiliki anak membuat pikiran tidak pernah tenang.
b. Anak adalah sumber kecemasan dalam hidup.
c. Hidup ini akan lebih bahagia bila tidak memiliki anak.
Beban ekonomi (kerugian secara finansial). Contohnya:
a. Banyak anak, keuangan keluarga akan murat-marit.
b. Dengan memiliki anak, kemewahan hidup akan berkurang..
c. Hidup tanpa anak akan lebih menjamin ekonomi keluarga.
Setiap pernyataan tersebut disertai alternatif jawaban yang harus dipilih responden. Alternatif jawaban bisa bermacam-macam bentuknya, salah satu bentuk umum yang dipakai adalah:
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Tidak berpendapat (netral)
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju.
Untuk pernyataan nilai positif, jawaban tersebut dinilai dengan angka sebagai berikut:
a. Sangat setuju 5
b. Setuju 4
c. Tidak berpendapat (netral) 3
d. Tidak setuju 2
e. Sangat tidak setuju. 1
Sedangkan untuk pernyataan nilai negatif, jawaban tersebut dinilai dengan angka sebagai berikut:
a. Sangat setuju 1
b. Setuju 2
c. Tidak berpendapat (netral) 3
d. Tidak setuju 4
e. Sangat tidak setuju. 5
C. Reliabilitas Instrumen dalam Penelitian
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan, dapat digunakan untuk beberapa penelitian berbeda dengan hasil yang konsisten sama.
Berhubung gejala sosial tidak semantap gejala fisik, maka dalam pengukuran gejala sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran (measurement error). Dalam penelitian sosial, kesalahan pengukuran ini cukup besar. Karena itu untuk mengetahui hasil pengukuran yang sebenarnya, kesalahan pengukuran ini sangat diperhitungkan.
Setiap hasil pengukuran sosial selalu merupakan kombinasi atau gabungan antara hasil pengukuran yang sesungguhnya (true score) ditambah dengan kesalahan pengukuran. Secara rumusan matematik, keadaan tersebut digambarkan sebagai berikut:
Xo = Xt + Xc
Xo = Angka yang diperoleh (obtained score).
Xt = Angka yang sebenarnya (true score).
Xc = Kesalahan pengukuran (measurement error).
Makin kecil kesalahan pengukuran, makin reliabel alat pengukur (instrument) tersebut. Sebaliknya, makin besar kesalahan pengukuran, makin tidak reliabel insrumen tersebut.
Besar kecilnya kesalahan pengukuran dapat diketahui antara lain dari indeks korelasi antar hasil pengukuran pertama dan kedua. Bila angka korelasi (r) dikuadratkan, hasil kuadrat ini disebut dengan 'koefisien determinasi' yang merupakan petunjuk besarnya hasil pengukuran yang sebenarnya. Makin tinggi angka korelasi, makin rendah angka kesalahan pengukuran.
***
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Validitas berasal dari kata validity yang berarti kebenaran atau keabsahan. Sedangkan menurut istilah validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Sedangkan reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti "hal dapat dipercaya" dan "hal tahan uji". Reliabilitas memiliki beberapa nama, seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi dan lain sebagainya. Sementara menurut istilah penelitian, reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel.
2. Validitas sebuah instrumen, menurut para ahli dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, diantaranya:
a. Jenis Validitas
- Validitas konstruk
- Validitas isi
- Validitas eksternal
- Validitas prediktif
- Validitas budaya
- Validitas rupa
b. Cara Menguji Validitas
Diantaranya menggunkan tiga konsep berikut ini:
- Mencari defenisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis di dalam literatur;
- Jika tidak ada konsep, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep dengan mendiskusikannya kepada ahli-ahli yang berkompeten di bidang konsep yang akan diukur.
- Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden.
Dari ketiga konsep tersebut, kemudian dioperasionalisasikan ke dalam pernyataan atau pertanyaan.
3. Dalam pengukuran reliabilitas, kesalahan selalu diperhitungkan. ini didasarkan pada gejala sosial yang tidak semantap gejala fisik, sehingga sering terjadi kesalahan. Makin kecil kesalahan pengukuran, makin reliabel alat pengukur (instrument) tersebut. Sebaliknya, makin besar kesalahan pengukuran, makin tidak reliabel insrumen tersebut.
B. Saran dan Kata Penutup
Penulisan makalah ini pada dasarnya masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis tidak menutup diri untuk diberi masukan dan saran. Namun demikian penulis berharap bahwa makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan terima kasih.
***
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin dalam Masri Singaribun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 2006.
Azwar, Saifuddin, Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Djuntoro, Totok dan Bambang Suprijadi, menulis artikel & Karya Ilmiah, Bandung: Rosdakarya, 2005.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arbola, 2001.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2008.
***
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya tulis ilmiah merupakan produk dari sebuah kegiatan ilmiah yang pada umumnya memiliki tujuan mendapat pengakuan scientifik objektive untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, dengan pemaparan teori-teori baru yang sahih serta handal; dan Pengakuan praticial objektive guna membantu pemecahan problem praktisi yang mendesak.
Untuk mencapai kedua tujuan tersebut, sebuah penelitian harus memiliki kebenaran yang dapat diuji, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara faktual. Uji keabsahan data dalam penelitian secara umum ditekankan pada validitas dan reliabilitas. Apa dan bagaimana validitas dan reliabilitas instrument dalam sebuah penelitian akan dibahas lebih lanjut pada bahsan berikutnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian validitas dan reliabilitas Instrumen?
2. Bagaimana validitas instrumen dalam penelitian?
3. Bagaimana reliabilitas instrumen dalam penelitian?
***
BAB II
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN
A. Pengertian Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang berarti kebenaran atau keabsahan. Sedangkan menurut istilah validity mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sebuah tes atau instrumen yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes atau instrumen yang memiliki validitas rendah.
Validitas juga dapat dikatakan sebagai derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian. Sebagai contoh, jika dalam objek penelitian di sebuah lembaga pendidikan terdapat guru yang tidak profesional, maka peneliti melaporkan bahwa guru di sebuah lembaga pendidikan itu tidak profesional. Bila peneliti melaporkan yang tidak sesuai, maka data yang disampaikan tersebut dapat dinyatakan tidak valid.
Seperti diuraikan di atas, validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Sekiranya peneliti menggunakan kuisioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuisioner yang disusunya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuisioner tersebut disusun dan teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang terkumpul adalah data yang valid. Banyak hal-hal lain yang dapat mengurangi validitas data; misalnya apakah pewawancara betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuisioner. Selain itu validitas data akan ditentukan oleh keadaan responden sewaktu diwawancara.
2. Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti "hal dapat dipercaya" dan "hal tahan uji". Reliabilitas memiliki beberapa nama, seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi dan lain sebagainya. Sementara menurut istilah penelitian, reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliable).
Dalam pengertian serupa, reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur digunakan dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif sama atau konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata lain reabilitas menunjukkan konsisten suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama.
B. Validitas Instrumen dalam Penelitian
Validitas sebuah instrumen, menurut para ahli dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, diantaranya:
a. Jenis Validitas
a. Validitas konstruk
Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Misalkan seorang peneliti ingin mengukur konsep religiusitas. Pertama-tama yang harus dilakukan oleh peneliti ialah mencari apa saja yang menjadi kerangka dari konsep tersebut.
Untuk mencari kerangka konsep tersebut perlu ditempuh dengan berbagai cara, misalnya :
1). Mencari defenisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis di dalam literatur;
2). Kalau sekiranya di dalam literatur tidak dapat diperoleh definisi konsep yang ingin diukur, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Untuk membantu penyusunan definisi dan mewujudkan definisi tersebut ke dalam bentuk yang operasional, peneliti disarankan untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan ahli-ahli yang berkompeten di bidang konsep yang akan diukur. Kemudian pendapat para ahli dan peneliti dicarai kesamaannya;
3). Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden.
Contoh dari pendekatan pertama adalah konsep religiusitas-nya Glock dan Stark (1963). Menurut kedua ahli tersebut, untuk mengetahui kadar religiusitas individu dapat dipakai kerangka sebagai berikut:
• Keterlibatan ritual;
• Keterlibatan ideologis;
• Keterlibatan intelektual;
• Keterlibatan pengalaman;
• Keterlibatan secara konsekuen.
b. Validitas isi
Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Misalkan seorang peneliti menggunakan konsepnya Glock dan Stark (1963) sebagaimana di atas, namun ia hanya memasukkan tiga aspek saja dari lima aspek yang merupakan kerangka konsep, maka instrumen yang digunkan tidak memiliki validitas isi yang tinggi.
c. Validitas eksternal
Validitas eksternal adalah validitas yang diperoleh dengan cara mengkorelasikan alat pengukur baru dengan tolok ukur eksternal, berupa alat ukur yang sudah valid, atau antara satu instrumen yang sudah valid dengan instrumen lain dan memiliki hasil yang relatif sama. Contoh untuk mengukur status ekonomi keluarga misalkan dengan penghasilan keluarga; kepemilikan barang berharga; jenis makanan yang dimakan dan pemenuhan gizi-kalori setiap hari. Ketiga aspek tersebut memiliki hasil yang sama dalam mengukur status ekonomi keluarga.
d. Validitas prediktif
Validitas prediktif adalah tingkat kebenaran pada sebuah alat atau instrumen untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Contoh instrumen yang digunakan pada saat ujian seleksi ke perguruan tinggi. Ujian tersebut memprediksi apa yang terjadi pada masa yang akan datang berkaitan dengan mahasiswa. Peserta yang lulus seleksi dengan nilai baik, diprediksikan akan mampu mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan sukses.
e. Validitas budaya
Validitas budaya adalah validitas sebuah instrumen yang berhubungan dengan budaya-budaya yang ada. Instrumen yang valid, dapat memberikan hasil yang sama dalam penelitian terhadap budaya yang berbeda, karena pada umumnya sebuah instrumen dapat valid ketikan digunakan dalam penelitian budaya tertentu, namun tidak valid ketika digunakan dalam penelitian budaya yang lain.
Contohnya kuisioner interaksi keluarga yang digunakan di negara-negara Barat tidak sesuai dengan di Indonesia. Di Barat menggunakan konsep nuclear family yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak, sedangkan di Indonesia keluarga didasarkan pada extended family yang tidak hanya melibatk¬an ayah, ibu dan anak saja, namun keluarga dekat lainnya.
f. Validitas rupa
Validitas rupa adalah jenis validitas yang berbeda dengan jenis validitas yang dikemukanakan di atas. Berbeda dengan jenis validitas lainnya, validitas rupa tidak menunjukkan apakah alat pengukur (instrumen) mengukur apa yang ingin diukur; validitas rupa hanya menunjukkan bahwa dari segi "rupanya" suatu alat pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur.
Contohnya untuk mengukur kemampuan mengendarai mobil, seorang sopir harus disuruh mengendarai mobil, atau menggunakan alat simulasi yang mirip dengan keadaan sesungguhnya. Cara pengukuran yang demikian memiliki validitas rupa. Sedangkan bila pengukuran kemampuan mengendarai mobil dilakukan dengan ujian tertulis tentang teknik mengendarai mobil, maka alat pengukur (instrumen) tersebut kurang memiliki validitas rupa.
Dalam penelitian survai, validitas rupa instrumen bukanlah hal yang menjadi masalah penting. Hal ini disebabkan dalam penelitian survai alat ukur (instrumen) yang digunakan biasanya berupa kuisioner yang tujuannya mencari fakta, bukannya untuk mengukur kemampuan seseorang dalam aspek tertentu, seperti tingkat kecerdasan, kemampuan, bakat dan keterampilan.
b. Cara Menguji Validitas
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan secara sederhana cara menguji validitas alat pengukur (instrumen). Salah satunya mendefinisikan secara operasional konsep yang diukur, sebagaimana diuraikan di atas, yakni :
i Mencari defenisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis di dalam literatur;
ii Kalau sekiranya di dalam literatur tidak dapat diperoleh definisi konsep yang ingin diukur, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Untuk membantu penyusunan definisi dan mewujudkan definisi tersebut ke dalam bentuk yang operasional, peneliti disarankan untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan ahli-ahli yang berkompeten di bidang konsep yang akan diukur. Kemudian pendapat para ahli dan peneliti dicari kesamaannya;
iii Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden.
Dari ketiga cara tersebut sebaiknya digunakan semua agar tercapai validitas instrumen yang tinggi. Dalam contoh berikut, operasioanalisasi konsep "nilai anak" didasarkan pada rumusan yang diajukan oleh Arnold dan Fawcett (1975). Menurut kedua ahli ini, dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal-hal yang merugikan. Apa yang diperoleh tersebut dapat digolongkan ke dalam empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, dan nilai keluarga kecil.
Sebagai contoh akan dikemukakan dua nilai saja, yakni nilai positif dan nilai negatif. Nilai positif merupaka keuntungan karena memiliki anak, dinataranya:
Keuntungan emosional
Keuntungan ekonomi dan rasa aman
Pengayaan dan pengembangan diri
Identifikasi pada anak
Kemesraan keluarga dan keutuhan perkawinan
Nilai negatif adalah hal-hal yang merugikan karena memiliki anak, terdiri atas:
Beban emosional
Beban ekonomi
Berkurangnya keleluasaan dan kesempatan
Beban tenaga
Beban bagi keluarga.
Hal-hal yang bernilai positif atau negatif tersebut selanjutnya harus dijabarkan ke dalam pertanyaan atau pernyataan yang lebih operasional, berikut akan dikemukakan nilai positif dan negatif, masing-masing dua saja.
Keuntungan emosional (rasa senang, cinta, damai karena memiliki anak). Pernyataan dalam skala pengukuran:
a. Orang yang tidak mempunyai anak tidak akan dapat merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
b. Orang yang memiliki anak tidak akan kesepian di dalam hidupnya.
c. Kehadiran anak-anak membuat suasana rumah menjadi meriah.
Keuntungan ekonomi dan rasa aman (diperoleh dari anak berupa sumbangan ekonomis, seperti sumbangan tenaga kerja, uang, dan jaminan ekonomi di hari tua)contoh pernyataan:
a. Banyak anak, banyak rezeki.
b. Dengan banyak anak, pekerjaan di rumah menjadi ringan.
c. Anak adalah jaminan hidup di masa tua.
Beban emosional (kerugian yang didapat orang tua karena memiliki anak: rasa jengkel, ketidaktenangan pikiran dan lain-lain).
a. Memiliki anak membuat pikiran tidak pernah tenang.
b. Anak adalah sumber kecemasan dalam hidup.
c. Hidup ini akan lebih bahagia bila tidak memiliki anak.
Beban ekonomi (kerugian secara finansial). Contohnya:
a. Banyak anak, keuangan keluarga akan murat-marit.
b. Dengan memiliki anak, kemewahan hidup akan berkurang..
c. Hidup tanpa anak akan lebih menjamin ekonomi keluarga.
Setiap pernyataan tersebut disertai alternatif jawaban yang harus dipilih responden. Alternatif jawaban bisa bermacam-macam bentuknya, salah satu bentuk umum yang dipakai adalah:
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Tidak berpendapat (netral)
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju.
Untuk pernyataan nilai positif, jawaban tersebut dinilai dengan angka sebagai berikut:
a. Sangat setuju 5
b. Setuju 4
c. Tidak berpendapat (netral) 3
d. Tidak setuju 2
e. Sangat tidak setuju. 1
Sedangkan untuk pernyataan nilai negatif, jawaban tersebut dinilai dengan angka sebagai berikut:
a. Sangat setuju 1
b. Setuju 2
c. Tidak berpendapat (netral) 3
d. Tidak setuju 4
e. Sangat tidak setuju. 5
C. Reliabilitas Instrumen dalam Penelitian
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan, dapat digunakan untuk beberapa penelitian berbeda dengan hasil yang konsisten sama.
Berhubung gejala sosial tidak semantap gejala fisik, maka dalam pengukuran gejala sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran (measurement error). Dalam penelitian sosial, kesalahan pengukuran ini cukup besar. Karena itu untuk mengetahui hasil pengukuran yang sebenarnya, kesalahan pengukuran ini sangat diperhitungkan.
Setiap hasil pengukuran sosial selalu merupakan kombinasi atau gabungan antara hasil pengukuran yang sesungguhnya (true score) ditambah dengan kesalahan pengukuran. Secara rumusan matematik, keadaan tersebut digambarkan sebagai berikut:
Xo = Xt + Xc
Xo = Angka yang diperoleh (obtained score).
Xt = Angka yang sebenarnya (true score).
Xc = Kesalahan pengukuran (measurement error).
Makin kecil kesalahan pengukuran, makin reliabel alat pengukur (instrument) tersebut. Sebaliknya, makin besar kesalahan pengukuran, makin tidak reliabel insrumen tersebut.
Besar kecilnya kesalahan pengukuran dapat diketahui antara lain dari indeks korelasi antar hasil pengukuran pertama dan kedua. Bila angka korelasi (r) dikuadratkan, hasil kuadrat ini disebut dengan 'koefisien determinasi' yang merupakan petunjuk besarnya hasil pengukuran yang sebenarnya. Makin tinggi angka korelasi, makin rendah angka kesalahan pengukuran.
***
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Validitas berasal dari kata validity yang berarti kebenaran atau keabsahan. Sedangkan menurut istilah validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Sedangkan reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti "hal dapat dipercaya" dan "hal tahan uji". Reliabilitas memiliki beberapa nama, seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi dan lain sebagainya. Sementara menurut istilah penelitian, reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel.
2. Validitas sebuah instrumen, menurut para ahli dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, diantaranya:
a. Jenis Validitas
- Validitas konstruk
- Validitas isi
- Validitas eksternal
- Validitas prediktif
- Validitas budaya
- Validitas rupa
b. Cara Menguji Validitas
Diantaranya menggunkan tiga konsep berikut ini:
- Mencari defenisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis di dalam literatur;
- Jika tidak ada konsep, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep dengan mendiskusikannya kepada ahli-ahli yang berkompeten di bidang konsep yang akan diukur.
- Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden.
Dari ketiga konsep tersebut, kemudian dioperasionalisasikan ke dalam pernyataan atau pertanyaan.
3. Dalam pengukuran reliabilitas, kesalahan selalu diperhitungkan. ini didasarkan pada gejala sosial yang tidak semantap gejala fisik, sehingga sering terjadi kesalahan. Makin kecil kesalahan pengukuran, makin reliabel alat pengukur (instrument) tersebut. Sebaliknya, makin besar kesalahan pengukuran, makin tidak reliabel insrumen tersebut.
B. Saran dan Kata Penutup
Penulisan makalah ini pada dasarnya masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis tidak menutup diri untuk diberi masukan dan saran. Namun demikian penulis berharap bahwa makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan terima kasih.
***
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin dalam Masri Singaribun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 2006.
Azwar, Saifuddin, Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Djuntoro, Totok dan Bambang Suprijadi, menulis artikel & Karya Ilmiah, Bandung: Rosdakarya, 2005.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arbola, 2001.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2008.
***
Langganan:
Postingan (Atom)